header-ppnijabar
Sejarah

PERKEMBANGAN PROFESI KEPERAWATAN DI INDONESIA
DI ERA TAHUN 1906 S/D TAHUN 1962

Oleh: Drs. H. Husen, Bsc
(Ketua Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Jawa Barat)

I. PENDAHULUAN

Profesi Keperawatan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Keperawatan di Indonesia. Perjuangan profesi Keperawatan sangat ditentukan oleh perkembangan pendidikan Keperawatan pada zamannya, disamping sistem pelayanan kesehatan.

Sistem pelayanan kesehatan pada saat itu, dititik beratkan pada aspek kuratif. Sehingga pelayanan keperawatan, lebih ditekankan pada bantuan aspek kuratif tersebut.

Upaya pelayan keperawatan saat itu merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis (medical care).

Pendidikan keperawatan mendidik para siswanya untuk memperoleh keterampilan dalam membantu\asuhan medis.

Pengadaan tenaga keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dan di klinik untuk membantu dokter dalam memberikan asuhan medis.

II. KEPERAWATAN DI INDONESIA

A. Sejarah Keperawatan di Indonesia, dibagi atas:
Zaman VOC (1602-1799)

  1. Zaman Penjajahan Belanda (1799-1811)
  2. Zaman Penjajahan Inggris (1811-1816)
  3. Zaman Penjajahan Belanda II (1816-1942)
  4. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
  5. Zaman Kemerdekaan (1945-Sekarang)

Seperti telah diutarakan pada pendahuluan tersebut di atas bahwa keperawatan pada saat itu merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, maka akan dibahas secara garis besar perkembangan sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit sesuai pada zamannya.

Diuraikan disini adalah perkembangan Rumah Sakit dan pendidikan keperawatan sejah tahunn 1906 sampai  tahun 1962.

B. Rumah Sakit dan Pendidikan Keperawatan

1. Zaman Penjajahan Belanda II(1816-1942)

PERKEMBANGAN RUMAH SAKIT

  1. Tahun 1819-Residen Vpabst
    Mendirikan rumah sakit untuk umum di Jakarta (Batavia) yaitu Rumah Sakit STADSVERBAND di Glodok.

  2. Tahun 1919 RS. STADSVERBAND menjadi C.B.Z. (Central Burgerlijke Zieken Inrichting) pindah ke Salemba. Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

  3. Rumah Sakit Partikelir (Swasta)
    Didirikan oleh Missi, Zending, Muhammadiyah, Bala Keselamatan. Tahun 1879 didirikan Rumah Sakit Cikini di Gang Paal Batavia. Rumah Sakit lain yaitu RS. Borromeus Bandung, RS. St, Carolus di Jakarta, RS Elizabeth di Semarang.

  4. Tahun 1875 Rumah Sakit Jiwa Cilendek Bogor.

  5. Tahun 1894 Rumah Sakit Jiwa Lawang di Malang.

  6. Tahun 1923 Rumah Sakit Jiwa di Magelang.

2. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)

  1. Perawatan mundur
  2. Obat-obatan sangat kurang
  3. Wabah penyakit muncul dimana-mana

3. Zaman Kemerdekaan (1945-Sekarang)

Awal kemerdekaan mengalami kekurangan terutama obat-obatan. Tahun 1945 mulai menyusun rencana perbaikan-perbaikan.

  1. Tahun 1951 di RSJ. Cilendek Bogor dilaksanakan “kursus” perawatan jiwa yang siswanya dari bangsa Indonesia
  2. 2 Mei 1952 Sekolah Guru Pengatur Rawat (SGRP) (Perawat ± 1 tahun) di Bandung
    Tahun 1954  ditambah Sekolah Guru Bidan dan Sekolah Pemelihara Kesehatan Masyarakat
    Tahun 1958 SGPR/SGBID/SPKM, lama pendidikannya 2 tahun.
    Tahun 1966 SGPR/SGBID/SPKM menjadi Akademi Perawat Bandung.
  3. 5 Agustus 1953 Sekolah Pengatur Rawat (SMP ± 3 tahun) di Bandung
  4. Sesuai dengan UU No 9/1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan dan UU N0 6/1963 tentang Tenaga Kesehatan pada pasal 2 dalam penjelasannya:
    “Tenaga Kesehatan lainnya yang bertingkat sarjana muda, menengah dan rendah (non akademis) pendidikannya diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam bidang kesehatan”.
    Para lulusannya diwajibkan kerja di pemerintah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan UU No 18/1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis.

Sebagai konsekuensi dari UU No 9/1960 dan UU No 6/1963 tersebut diatas maka didirikan sekolah perawatan baik tingkat rendah, menengah maupun tingkat akademi, yaitu:

  1. Sekolah Tenaga Keperawatan Tingkat Rendah
    1. Sekolah Juru Kesehatan (SDK) atau Basic Medical Training (SD ±  1 tahun)
    2. Sekolah Pembantu Perawat (SD = ± 2 tahun)
    3. Sekolah Penjenang Kesehatan Tingkat Pertama (SD ± 2 tahun)
    4. Sekolah Penjenang Kesehatan Tingkat Atas (SMP ± 2 tahun)
    5. Sekolah Pengamat Kesehatan (SPK) Ijasah C’D’U (SMP±2tahun)
    6. Sekolah Perakit Rawat (dahulu Sekolah Juru Rawat) (SD±4tahun) 
  2. Sekolah Tenaga Keperawatan Tingkat Menengah
    1. Sekolah Pengatur Rawat A (Umum)
    2. Sekolah Pengatur Rawat B (Jiwa)
    3. Sekolah Pengatur Rawat “Aplikasi”, merupakan pendidikan tambahan bagi lulusan Sekolah Penjenang Kesehatan Tingkat Atas, Sekolah Pengamat Kesehatan C’D’U Sekolah Perakit Rawat, lama pendidikan 1-2 tahun
  3. Sekolah Tenaga Keperawatan Tingkat Sarjana Muda
    1. Tahun 1962 Akademi Keperawatan Depkes Jakarta
    2. Tahun 1966 Akademi Keperawatan Depekes Bandung, merupakan konversi dari Sekolah Guru Perawat, Sekolah Guru Bidan dan Sekolah Pemelihara Kesehatan

SIAPA KITA???
(TAHUN 1964 SAMPAI DENGAN 1982

Oleh: Dra Hj. Suharyati Samba SKp, MKes

Dengan periode ini, masalah kesehatan di Indonesia masih sangat kompleks, di mana kekurangan gizi banyak terjadi terutama pada balita dan anak-anak. Penyakit menular seperti cacar, polio, tuberkulosa, diphtheria dan pertusis banyak merenggut nyawa manusia terutama bayi, balita dan anak-anak, di samping penyakit lain akibat lingkungan yang kotor misalnya disentri dan cholera eltor.

Semua masalah kesehatan tersebut harus dihadapi oleh tenaga kesehatan termasuk keperawatan yang dihasilkan dari pendidikan yang berbasis rumah sakit dengan jenjang pendidikan rendah dan menengah.

  • Rendah, Menengah, Tinggi

Departemen kesehatan RI merasa memerlukan tenaga keperawatan yang dapat mempercepat pembangunan kesehatan yaitu tenaga yang cukup dewasa dalam usia dan mampu berpikir kritis dan analitis dalam menghadapi masalah kesehatan.

Untuk itu, Depkes membentuk kelompok kerja persiapan pembukan akademi keperawatan yang terdiri dari perawat senior yaitu :

  1. Magdalena Mahdi MSc (alm)
  2. Zuster Umi Lestari Samekto (alm)
  3. Suster Etty Yunus (alm)
  4. Suster Stien Wuntu, SKM, MPH
  5. Suster Kasinah

Kelompok kerja ini diperkuat dengan konsultan WHO; Miss Azeker (alm) dan Miss Thorusan dari US AID.

Hasil kelompok kerja adalah kurikulum Akper yang bersifat subject oriented dengan lama pendidikan enam semester (tiga tahun).

Dengan selesainya kurikulum Akper, maka tahun 1964 Akper Depkse Jakarta yang terletak di Jl Kimia No 17 Jakarta dibuka, dengan mengambil mahasiswa dari lulusan SMA IPA. Direktur pertama Akper Depkes Jakarta adalahh Dra. Magdalena Mahdi MSc, kemudian digantikan oleh Dra. Yunarsih   Sudibyo yang merupakan salah satu alumni angkatan pertama dari Akper tersebut.

Dalam waktu yang bersamaan St Corolus juga membuka Akper serupa, yang kemudian diikuti dengan pembukaan Akper Depkes Bandung, Makassar dan Palembang serta Akper Yayasan Perguruan Cikini Jakarta.

Sementara itu, pendidikan keperawatan jenjang menengah (SPR) dan jenjang rendah (jusu kesehatan) masih tetap berlangsung. Untuk meningkatkan kualitas lulusan jenjang pendidikan rendah ini, dibuka sekolah jenjang kesehatan C (curative) dan U (umum) dengan waktu pendidikan dua tahun. Di samping menerima lulusan juru kesehatan, PKC/PKU juga menerima siswa dari lulusan SMP dengan lama pendidikan tiga tahun. Sedangkan lulusan juru rawat dan lulusan PKC/PKU dapat melanjutkan ke Sekolah Perawat Aplikasi (SPRA) dengan waktu belajar selama dua tahun.

Pada periode ini juga berlangsung pendidikan D1, yang menerima lulusan SPR/SPRA untuk menjadi perawat mahir dalam bidang tertentu dan Sekolah Pembantu Paramedis/Pekarya dan SPK

Selain SPR, SPRA, SPKC dan SPKU dan D1 seperti tersebut di atas, juga dibuka program Akper anak (Akpa), Akper Anastesi (Akpernas) yang menambah jumlah dan jenis serta jenjang pendidikan keperawatan di Indonesia, sampai mencapai 24 katagori tenaga keperawatan.

Karena banyaknya kategori tenaga keperawatan, maka timbul kebingungan dalam perngaturan kepegawaian dan pendayagunaan, oleh kerana itu pada tahun 1975 dilakukan penutupan berbagai sekolah keperawatan dan ditetapkan hanya dua kategori pendidikan keperawatan ialah Akademi Perawat dan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK).

  • Orientasi Rumah Sakit atau Masyarakat

Kebijaksanaan penyelenggaraan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dibuat untuk memenuhi kebutuhan tenaga di Puskesmas.

Pendirian puskesmas didasari oleh keinginan untuk mengintegrasikan berbagai sarana pelayanan kesehatan dasar (balai pengobatan, balai kesejahteraan ibu dan anak) agar lebih efektif dan efisien, hal ini diungkapkan dalam pertemuan “Bandung Plan” tahun 1955, yang kemudian dikembangkan menjadi “team work&team approach” pada tahun 1956. Pada tahun 1969 untuk pertama kali digunakan istilah puskesmas yang dibagi menjadi puskesmas type A,B dan C (Master Plan of Operation for Strengthening National Health Services in Indonesia). Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakernas) ke 111 tahun 1970 ditetapkan hanya ada satu type puskesmas dengan lima kegiatan pokok. Yang digunakan sebagai dasar pengembangan kegiatan pokok di puskesmas adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan pemerintah dan keinginan program di pusat.

Puskesmas dibuka di tiap kecamatan di seluruh Indonesia dengan fungsi utama: pemberdayaan masyarakat, pemberian pelayanan kesehatan dasar dan pengenalan pembangunan berwawasan kesehatan. Dengan demikian, orientasi pendidikan SPK adalah pada masyarakat.

Institusi pendidikan penyelenggara SPK tidak dibuat baru, tetapi hanya melakukan konversi dari SPR yang ada. Karena adanya perubahan orientasi pendidikan maka dilakukan reorientasi program (ROP) bagi semua pengelola dan guru SPR di seluruh Indonesia yang akan dikonversi menjadi SPK. Penyelenggara ROP diserahkan pada institusi pendidikan guru yang harus menyampaikan kurikulum dan metoda serata proses belajar mengajar pada SPK.

Pada tahun 1983 hampir semua perawat (94%) adalah lulusan SPK yang bekerja baik dirumah sakit maupun puskesmas. Di puskesmas, perawat lulusan SPK diharapkan dapat berfungsi sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar di bawah supervise dari kepala Puskesmas. Tapi pada kenyataannya, terutama meraka yang bertugas di puskesmas. Tapi pada kenyataannya, terutama mereka yang bertugas di puskesmas pembantu dan puskesmas terpencil mereka harus melakukan pelayanan kesehatan melebihi kemampuan yang disiapkan dalam pendidikan SPK maupun tingkat perkembangan kemampuan dan intelektualnya.

Sementara itu, lulusan Akper yang dalam jumlah sangat terbatas diharapkan dapat melakukan pelayanan yang lebih spesialis di rumah sakit atau bekerja sebagai pengajar di pendidikan keperawatan dengan terlebih dahulu mendapatkan latihan tambahan tentang ilmu pendidikan (Akta III dan Akta IV). Oleh karena itu, pendidikan Akper berorientasi pada rumah sakit atau klinik.

  • Satu, Dua, Tiga…Satu Lagi

Institusi pendidikan yang mencetak guru-guru perawat sampai dengan tahun 1975 hanya ada satu untuk seluruh Indonesia yaitu Pendidikan Lanjutan Perawatan Jurusan Guru Perawat, Guru Bidan dan Pemelirhara Kesehatan Masyarakat.

Pada tahun 1965 seiring dengan maraknya gerakan mahasiswa (KAMI) dan pelajar Indonesia (KAPI) di mana Bandung merupakan pusat pergerakan. Para peserta didik Sekolah Lanjutan Perawatan Jurusan GPR, Gbid dan PKM bergabung dengan KAMI turut serta bergerak unutk melakukan reformasi pemerintahan Orde Lama.

Dalam kegiatan-kegiatan pergerakan KAMI, peserta didik sekolah lanjutan ini banyak berinteraksi dengan mahasiswa dari ITB, IKIP, UNPAD dan Akademi dari seluruh kota Bandung dan sekitarnya.

Dengan tergabungnya peserta didik sekolah lanjutan perawatan tersebut, membuka wawasan peserta didiknya bahwa lama pendidikan dua tahun tidak berdampak apapun terhadap kepegawaian mereka, sehingga mereka menuntut ke Depkes RI untuk meningkatkan status institusi pendidikan menjadi akademi. Upaya ini berhasil dengan SK Menkes RI no 43/Pend pada tanggal 13 Juni 1966 dengan nama Akademi Perawat Depkes Bandung jurusan Guru Perawat, Guru Bidan dan Pemelihara Kesehatan Masyarakat.

Pimpinan Akper Bandung jurusan Guru Perawat, Guru Bidan dan Pemeliharaan Kesehatan menurut SK Menkes no 44/Pend pada tanggal 06 Juli 1966 terdiri dari unsur :

  1. Direktur                                                      : Dr. Aloe Sabu (alm)
  2. Wakil Direktur                                           : Oyo Rodiat (alm)
  3. Ketua Jurusan Guru Perawat               : Zr. Siti Soeprapti (alm)
  4. Wakil Jurusan Guru Perawat                : Zr. Hj. Linggar K (alm)
  5. Ketua Jurusan Guru Bidan                    : Zr. F.V. Sudiyarti Kabul (alm)
  6. Wakil Ketua Jurusan Guru Bidan         : Zr. Chirstina S Ibrahim (alm)
  7. Ketua Jurusan Pemelihara Kes. Mas.  : Syamsunir Adam
  8. Wakil Ketua Jurusan PKM                       : Zr. Noor Zinuro Djunet

Pada tahun 1967 Akper Depkes Bandung ditambah dengan satu jurusan lagi ialaj jurusan Perawat Umum dengan mahasiswa lulusan SMA IPA seperti Akper Depkes Jakarta yang menjadi ketua jurusan pertamanya adalah Zr. Hj. Linggar K.

Akademi Perawat Bandung Guru Perawat, Guru Bidan dan Pemelihara Kes Mas hanya berlangsung sepuluh tahun. Pada tahun 1975 Akper jurusan Guru Perawat, Guru Bidan dan Pemelihara Kes Mas dibagi menjadi dua institusi yaitu sekolah guru perawat, sekolah guru bidan dan pemelihara kesehatan (SGP) dengan waktu studi satu tahun dan bertempat tetap di jalan Padjadjaran no 56 Bandung, sedangkan jurusan Akper Umum menjad Akper Depkes Bandung berkampus di Jalan Otten no 32 Bandung.

  • Fusi… MARI BERSATU!!!

Keanekaragaman tenaga keperawatan pada periode ini mendorong perawat mempersatukan diri sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, sehingga banyak sekali jenis organisasi tenaga keperawatan baik berbentuk ikatan maupun persatuan seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Kondisi ini dirasakan kurang menguntungkan bagi keperawatan. Hal ini mendorong para ketua dan senior berbagai organisasi tersebut ingin berbincang untuk mewujudkan organisasi keperawatan Indonesia yang tunggal.

Para pencetus ide sepakat untuk membahas persoalan ini pada tanggal 16 dan 17 Maret 1974 di “Demonstration Room” SPR Depkes RI Jl. Prof Eyckman no 34 Bandung.

Rapat tanggal 16 dan 17 Maret 1974 dihadiri oleh perawat perwakilan dari IPI (Ikatan Perawat Indonesia), PPI (Persatuan Perawat Indonesia, RSHS, SPR,RS Borromeus, RS Paru Cipaganti, RS Mata Cicendo, Akper Depkes Bandung. Waktu penyelenggaraan tanggal 16 Maret pukul 20.00-23.00 sedangkan tanggal 17 Maret pukul 08.00-11.00.

Selanjutnya pengurus sementara PB Persatuan Perawat Nasional Indonesia mengadakan rapat lanjutan tanggal 25 dan 26 Oktober 1975 di SPR Aplikasi Jl. Dr. Otten Bandung dan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain untuk persiapan pelaksanaan kongres nasional PPNI pertama, yang terselenggara di Jakarta Convention Hall pada tanggal 15-20 November 1976.

Situasi kongres saat itu begitu megah dan berjalan lancer serta tertib dan mempu menipukan ruh persatuan dan kesatuan seluruh wakil perawat se Indonesia.

Pengurus sementara PB PPNI merasa bangga dan lega karena dapat menyelenggarakan kongres pertama yang melahirkan PB PPNI untuk periode 1976-1980 dengan damai dan elegan.

SIAPA KITA???
(TAHUN 1964 SAMPAI DENGAN 1982)

Oleh: Dra Hj. Suharyati Samba SKp, MKes

Tahun 1983 merupakan tonggak sejarah yang sangat berarti bagi perjalanan keperawatan sebagai suatu profesi. Dalam tahun ini telah dilaksanakan dua kali lokakarya secara berturut-turut di Tawangmangu tanggal 10 sampai 13 Januari 1983 dan di Jakarta tanggal 2 sampai 5 Februari 1983, untuk membahas arah perkembangan dan pola Pendidikan Tinggi Keperawatan di Indonesia. Kedua lokalkarya nasional tersebut diikuti oleh dua departemen, yaitu Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan RI. Departemen Kesehatan diwakili oleh Kepala Pusdiklat (dr. Mohammad Isa) berserta staf sedangkan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diwakili oleh Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi beserta staf. Lokalkarya juga dihadiri oleh para konsultan WHO yang bekerja dikantor WHO Jakarta.

Dalam lokalkarya-lokalkarya tersebut disepakati bahwa pintu masuk pembaharuan keperawatan adalah mealui pendidikan, di mana jenjang pendidikan keperawatan harus berada pada jenjang pendidikan tinggi, oleh karena itu SPK harus ditutup secara bertahap.

Untuk dapat mewujudkan rencana pembaharuan keperawatan, pola pendidikan seperti diatas, maka dibentuklah kelompok kerja keperawatan CHS.

  • Kelompok Kelinci Pembaharu

Pada awalnya kelompok kerja keperawatan CHS ini hanya terdiri dari tujuh orang yaitu:

  1. Ojo Rodiat
  2. Stien Wuntu
  3. Yunarsih
  4. Maria W
  5. Sunardi
  6. Jane F
  7. Suharyati

Kelompok ini didukung oleh seorang konsultan jangka panjang WHO (The WHO Long-term Consultant in Nurse Education) Farinaz Parsay, yang telah direkrut oleh WHO sejak bulan Juli 1982, untuk proyek “Development of Nursing Education and Service in Indonesia”. Kelompok dibimbing langsung oleh sekretaris eksekutif CHS Prof. DR. Dhujar Ma’rifin Husin.

Pembentukan Pokja keperawatan CHS ini merupakan langkah awal dan target pertama dalam proses pembaharuan keperawatan di Indonesia, kelompok kerja keperawatan diposisikan sebagai komponen sistem pengembangan pendidikan tinggi keperawatan, yang pada saat itu diyakini sebagai titik masuk terbaik dalam proses pembaharuan keperawatan di Indonesia.

Dengan intervensi dan fasilitas yang memadai dari konsultan dan pembimbing, kelompok kerja keperawatan CHS diharapkan dapat:

  1. Menetapkan tujuan, nilai dan persepsi kelompok, sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang dinamis, efektif dan kohesif
  2. Menyadari dan meningkatkan kompetensinya (keterampilan, pengetahuan dan sikap) dalam merencanakan pengembangan pendidikan tinggi keperawatan dan berperan aktif dalam implementasinya
  3. Mempengaruhi lingkungan sosialnya, dan tiap anggota diharapkan dapat melakukan perubahan positif di lingkungan kerjanya masing-masing

Tugas awal kelompok kerja keperawatan CHS adalah merumuskan dasar-dasar pengembangan dan pembinaan sistem pendidikan di Indonesia dengan materi:

  1. Pengertian Perawat
  2. Peran Perawat
  3. Fungsi Perawat
  4. Tanggung jawab Perawat terhadap klien, tugas, profesi, pemerintah, bangsa dan tanah air
  5. Kompetensi Perawat
  6. Pola Pendidikan Keperawatan

Buku “Dasar-dasar pengembangan dan pembinaan sistem pendidikan di Indonesia” dapat diselesaikan, tetapi tugas kelompok makin luas karena selain harus menetapkan paradigm, falsafah, kerangka konsep keperawatan juga harus mendesiminasikan hasil kerjanya ke berbagai pihak yang terkait.

Karena tugas kelompok yang makin luas ini maka jumlah anggota ditambah menjadi 14 orang, kemudian pada akhir tahun 1984 dengan kembalinya ibu Chirstina S Ibrahim dan Ibu Achir Yani dari tugas belajar di Filiphina yang bergabung dalam kelompok, maka jumlahnya menjadi 16 orang.